Kita saksikan, betapa banyak orang yang mengeluh karena
merasa tak pernah punya waktu, sedangkan beberapa orang yang lain selalu
mencari jalan untuk membunuh waktu.
Padahal
kita tahu, setiap orang pastilah akan mendapat jumlah waktu yang
sama, yaitu 60 menit setiap jam, dan 24 jam setiap hari di tempat manapun di
dunia ini. Di negara maju, negara berkembang, atau negara yang hancur terpuruk
sekalipun tetap 24 jam perhari 60 menit per jam.
Singapura 24 jam per hari, Singaparna 24 jam per hari,
Texas 60 menit per jam, Tegal 60 menit per jam, semuanya sama. Pengusaha
sukses, yang jatuh bangun, atau bahkan yang bangkrut sekalipun tetap 24 jam per
hari 60 menit per jam.
Para pimpinan perusahaan, CEO, karyawan teladan atau
karyawan yang kerja asal-asalan, pengangguran kelas berat sekalipun jatah
waktunya tetap sama 24 jam per hari. Seorang bintang kelas; yang biasa saja,
atau yang tidak naik kelas sekalipun tetap 24 jam per hari 60 menit per jam.
Maka, nyatalah bahwa yang menjadi masalah bukan jumlah waktunya, tapi isi
waktunya.
Ada yang dalam waktu 24 jam itu mampu mengurus negara,
jutaan orang, atau aneka perusahaan raksasa dengan beratus ribu orang, tapi ada
yang dalam 24 jam mengurus diri saja tidak mampu! Naudzhubillah.
Ingin tahu betapa berharganya
satu detik? Bertanyalah kepada para perenang, pelari dan pembalap. Tertinggal
beberapa detik gelar juara bisa hilang, hadiah jutaan bahkan miliaran rupiah
urung didapatkan. Satu detik nilainya begitu besar.
Dalam satu hari kita diberi
modal yang sama oleh Allah swt yaitu 86.400 detik. Siapa yang bisa mengelola
“modal” dengan produktif, dia akan beruntung. Dan sebaliknya, mereka yang
mengelola “modal” tersebut asal-asalan, hidupnya bisa dipenuhi kesialan,
kekurangan dan kemalangan.
Nah, bila waktu kita anggap
sebagai modal. Sudah berapa detik waktu yang sudah Anda jalani dalam kehidupan?
Kira-kira, Anda menjadi orang yang beruntung atau orang yang merugi?
Karakteristik waktu memang sebuah keunikan, bahkan ia
suatu misteri kehidupan ini, yang terekam dalam tik-tok jam, tercatat dalam
buku harian, terhitung dalam kalender tahunan, terukir dalam prasasti-prasasti
kehidupan. Walau, sebenarnya ukuran-ukuran itu akan kurang berarti, sebab
ukuran waktu yang nyata adalah kehidupan kita sendiri.
Bagaimana kita memanfaatkan modal waktu yang kita miliki
untuk menghasilkan karya terbaik. []