Malam itu pertemuan mingguan terasa sepi, beberapa orang meminta ijin karena sedang sakit, salah satunya sedang mendapat musibah. Karena ada pekerjaan yang cukup padat, Bang Hasan meminta ijin juga untuk datang terlambat dan minta kepada mas'ul untuk menjalankan acara seperti biasa. Setelah dibuka dengan tilawah, pengajian pekanan dilanjutkan dengan program seperti biasanya.
Umar, salah satu anggota pengajian sedang bercerita tentang aktivitasnya menjelajah hutan dan pengalamannya hampir tenggelam terseret arus sungai. Dia menceritakan banyak ibroh yang bisa dipetik dari perjalanannya mengikuti sebuah ekspedisi yang ia ikuti bersama kelompok pecinta alam. Selanjutnya masúl menyampaikan taujih ruhiah tentang makna keberadaan kita dalam dakwah. Taujih yang disampaikan dengan dalam sangat terasa menyentuh hati yang hadir, apalagi yang disinggung masalah mihnah dakwah yang mungkin akan mereka alami, godaan-godaan yang mungkin muncul dalam perjalanan dakwah.
Semua masih dalam keadaan menunduk dan meresapi taujih yang disampaikan mas'ul mereka. Tausiah untuk menjaga diri dari godaan syahwat dan selalu menjaga iffah dengan menjaga hubungan dengan orang lain. Memang ini masalah klasik dan terasa pragmatis, namun karena penyampaian yang disertai perasaan yang dalam, mereka sangat memahami permasalahan yang sedang terjadi. Karena Bang Hasan belum juga datang, mas'ul memutuskan untuk menutup pertemuan itu dengan doa Rabithoh dan nanti baru dilanjutkan dengan pembicaraan santai lainnya.
Beberapa saat ketika mereka berbincang-bincang sambil menikmati hidangan sederhana yang disediakan tuan rumah, Bang Hasan tampak datang dengan senyumnya yang khas diliputi keramahan ukhuwah. Sembari mengucap salam beliau menyalami yang hadir satu persatu dan menanyakan yang tidak hadir. Bagi kelompok ngaji ini Bang Hasan sudah dianggap sebagai abang sendiri bahkan menjadi bapak asuh mereka. Memang usia mereka tidak terpaut jauh dengan Bang Hasan namun kekuatan ruh yang menjadikan pancaran wajahnya memiliki karisma tersendiri.
Kemudian Bang Hasan menyampaikan beberapa ta'limat yang ia bawa dari lembaga dakwah mereka dan beberapa ta'limat lainnya. Setelah itu ia menceritakan bahwa ia akan segera pindah dari kota ini karena panggilan tugas. Memang pertemuan pekan sebelumnya beliau pernah menceritakan kabar tentang perpindahan tugasnya dan pertimbangan jangka panjang kenapa ia tetap memilih menekuni karier sebagai pegawai negeri. Dan perpindahan tugas ini adalah untuk kepentingan dakwah jangka panjang sekaligus untuk memupuk profesionalisme dalam pekerjaannya.
Semua wajah tertunduk sayu, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Ketika Bang Hasan melanjutkan pembicaraaan bahwa mungkin perpindahan ini akan lebih cepat dari yang diperkirakan karena tuntutan pekerjaan yang sudah menunggu di tempatnya yang baru.
Kemudian ia menceritakan perasaannya ketika baru pindah ke kota pulau ini. Tantangan dan rintangan yang ia hadapi disini, termasuk juga kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah sebagai rahmat dan berkah dari dakwah ini. Keberadaan kondisi dakwah di kota ini yang demikian menantang dan keinginan beliau untuk (sebenarnya) ingin berbuat lebih banyak bagi dakwah di kota ini.
Semua yang hadir di ruangan semakin tampak menahan kesedihan. Biar bagaimanapun kebersamaan mereka dengan Bang Hasan telah menumbuhkan semangat hidup yang baru dalam diri mereka. Bagi mereka Bang Hasan adalah profil sahabat yang bisa diajak berkeluh kesah dan bertukar cerita. Teman yang selalu menampakkan keceriaan dibalik keadaannya yang tidak berkecukupan bahkan boleh dibilang sangat sederhana. Ya kesederhanaan Bang Hasan tidak melunturkan kemuliaan perilaku dan akhlaq.
Bagi mereka Bang Hasan adalah sosok murobbi yang telah membimbing mereka, memberikan motivasi, memberikan solusi kongkrit terhadap permasalahan yang mereka temui di medan dakwah. Taujih yang diberikan selalu tepat dengan kondisi yang sedang dihadapi mad'unya. Sepertinya ia memang berbicara dengan bashiroh bukan hanya sekedar ucapan bibir semata.
Bagi mereka Bang Hasan juga seorang bapak yang memberikan keteduhan dan kenyamanan. Yang mampu mengiringi langkah mereka dalam membuat kreativitas dakwah. Memberikan support penuh, pengarahan dan wejangan penuh makna. Beliau sering membentuk kelompok-kelompok kajian baru dan setelah jadi diberikan kepada kami untuk melanjutkan pembinaan.
Bang Hasan juga adalah sosok guru yang memiliki bekal kelimuan yang kokoh. Beliau tidak pernah pelit dengan ilmunya dan selalu terbuka terhadap kritik dan saran dari temannya bahkan dari mad'unya. Dia juga sosok mubaligh yang siap siaga menerima panggilan dakwah. Jarang atau bahkan mungkin hampir tidak pernah mengeluh dengan kekurangan yang ia terima.
Dan semua perasaan itu menggelayut jadi satu dalam benak Umar, Zain, Husin, Arif dan teman-teman lainnya yang masih tertunduk dalam kesedihan. Apalagi ketika Bang Hasan menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan yang ia lakukan atau juga keluarganya berbuat kesalahan kepada kami, beliau meminta maaf yang sebesar-besarnya. Segumpal air sebenarnya telah memberati mata ini dan tinggal menunggu saat tercurahkan.
Perpisahan yang terjadi memang terasa begitu cepat, dan diluar perkiraan mereka. Namun jika Allah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin. Pertemuan dan perpisahan adalah sunatullah dan itu juga menjadi sunah dakwah. Apalagi di kota yang dinamis ini, perpindahan dan pergantian kader terasa begitu cepat. Tergantung bagaimana kita memberikan makna pada perpisahan itu. Akankah kita meninggalkan kesan baik yang dalam bagi orang-orang yang kita tinggalkan atau kepergian kita akan biasa-biasa saja atau bahkan justru kepergiaan kita akan membawa kesenangan bagi orang karena telah terbebas dari kedzoliman kita.
Dan dengan menahan tangis mereka pun saling berpelukan dengan erat. Kata Bang Hasan mungkin ini adalah pertemuan mingguan terakhir bagi mereka, namun bukan perpisahan untuk selamanya, Insya Allah.
Umar, salah satu anggota pengajian sedang bercerita tentang aktivitasnya menjelajah hutan dan pengalamannya hampir tenggelam terseret arus sungai. Dia menceritakan banyak ibroh yang bisa dipetik dari perjalanannya mengikuti sebuah ekspedisi yang ia ikuti bersama kelompok pecinta alam. Selanjutnya masúl menyampaikan taujih ruhiah tentang makna keberadaan kita dalam dakwah. Taujih yang disampaikan dengan dalam sangat terasa menyentuh hati yang hadir, apalagi yang disinggung masalah mihnah dakwah yang mungkin akan mereka alami, godaan-godaan yang mungkin muncul dalam perjalanan dakwah.
Semua masih dalam keadaan menunduk dan meresapi taujih yang disampaikan mas'ul mereka. Tausiah untuk menjaga diri dari godaan syahwat dan selalu menjaga iffah dengan menjaga hubungan dengan orang lain. Memang ini masalah klasik dan terasa pragmatis, namun karena penyampaian yang disertai perasaan yang dalam, mereka sangat memahami permasalahan yang sedang terjadi. Karena Bang Hasan belum juga datang, mas'ul memutuskan untuk menutup pertemuan itu dengan doa Rabithoh dan nanti baru dilanjutkan dengan pembicaraan santai lainnya.
Beberapa saat ketika mereka berbincang-bincang sambil menikmati hidangan sederhana yang disediakan tuan rumah, Bang Hasan tampak datang dengan senyumnya yang khas diliputi keramahan ukhuwah. Sembari mengucap salam beliau menyalami yang hadir satu persatu dan menanyakan yang tidak hadir. Bagi kelompok ngaji ini Bang Hasan sudah dianggap sebagai abang sendiri bahkan menjadi bapak asuh mereka. Memang usia mereka tidak terpaut jauh dengan Bang Hasan namun kekuatan ruh yang menjadikan pancaran wajahnya memiliki karisma tersendiri.
Kemudian Bang Hasan menyampaikan beberapa ta'limat yang ia bawa dari lembaga dakwah mereka dan beberapa ta'limat lainnya. Setelah itu ia menceritakan bahwa ia akan segera pindah dari kota ini karena panggilan tugas. Memang pertemuan pekan sebelumnya beliau pernah menceritakan kabar tentang perpindahan tugasnya dan pertimbangan jangka panjang kenapa ia tetap memilih menekuni karier sebagai pegawai negeri. Dan perpindahan tugas ini adalah untuk kepentingan dakwah jangka panjang sekaligus untuk memupuk profesionalisme dalam pekerjaannya.
Semua wajah tertunduk sayu, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Ketika Bang Hasan melanjutkan pembicaraaan bahwa mungkin perpindahan ini akan lebih cepat dari yang diperkirakan karena tuntutan pekerjaan yang sudah menunggu di tempatnya yang baru.
Kemudian ia menceritakan perasaannya ketika baru pindah ke kota pulau ini. Tantangan dan rintangan yang ia hadapi disini, termasuk juga kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah sebagai rahmat dan berkah dari dakwah ini. Keberadaan kondisi dakwah di kota ini yang demikian menantang dan keinginan beliau untuk (sebenarnya) ingin berbuat lebih banyak bagi dakwah di kota ini.
Semua yang hadir di ruangan semakin tampak menahan kesedihan. Biar bagaimanapun kebersamaan mereka dengan Bang Hasan telah menumbuhkan semangat hidup yang baru dalam diri mereka. Bagi mereka Bang Hasan adalah profil sahabat yang bisa diajak berkeluh kesah dan bertukar cerita. Teman yang selalu menampakkan keceriaan dibalik keadaannya yang tidak berkecukupan bahkan boleh dibilang sangat sederhana. Ya kesederhanaan Bang Hasan tidak melunturkan kemuliaan perilaku dan akhlaq.
Bagi mereka Bang Hasan adalah sosok murobbi yang telah membimbing mereka, memberikan motivasi, memberikan solusi kongkrit terhadap permasalahan yang mereka temui di medan dakwah. Taujih yang diberikan selalu tepat dengan kondisi yang sedang dihadapi mad'unya. Sepertinya ia memang berbicara dengan bashiroh bukan hanya sekedar ucapan bibir semata.
Bagi mereka Bang Hasan juga seorang bapak yang memberikan keteduhan dan kenyamanan. Yang mampu mengiringi langkah mereka dalam membuat kreativitas dakwah. Memberikan support penuh, pengarahan dan wejangan penuh makna. Beliau sering membentuk kelompok-kelompok kajian baru dan setelah jadi diberikan kepada kami untuk melanjutkan pembinaan.
Bang Hasan juga adalah sosok guru yang memiliki bekal kelimuan yang kokoh. Beliau tidak pernah pelit dengan ilmunya dan selalu terbuka terhadap kritik dan saran dari temannya bahkan dari mad'unya. Dia juga sosok mubaligh yang siap siaga menerima panggilan dakwah. Jarang atau bahkan mungkin hampir tidak pernah mengeluh dengan kekurangan yang ia terima.
Dan semua perasaan itu menggelayut jadi satu dalam benak Umar, Zain, Husin, Arif dan teman-teman lainnya yang masih tertunduk dalam kesedihan. Apalagi ketika Bang Hasan menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan yang ia lakukan atau juga keluarganya berbuat kesalahan kepada kami, beliau meminta maaf yang sebesar-besarnya. Segumpal air sebenarnya telah memberati mata ini dan tinggal menunggu saat tercurahkan.
Perpisahan yang terjadi memang terasa begitu cepat, dan diluar perkiraan mereka. Namun jika Allah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin. Pertemuan dan perpisahan adalah sunatullah dan itu juga menjadi sunah dakwah. Apalagi di kota yang dinamis ini, perpindahan dan pergantian kader terasa begitu cepat. Tergantung bagaimana kita memberikan makna pada perpisahan itu. Akankah kita meninggalkan kesan baik yang dalam bagi orang-orang yang kita tinggalkan atau kepergian kita akan biasa-biasa saja atau bahkan justru kepergiaan kita akan membawa kesenangan bagi orang karena telah terbebas dari kedzoliman kita.
Dan dengan menahan tangis mereka pun saling berpelukan dengan erat. Kata Bang Hasan mungkin ini adalah pertemuan mingguan terakhir bagi mereka, namun bukan perpisahan untuk selamanya, Insya Allah.