Suatu ketika seorang siswi kelas 2 sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Pekalongan menemui saya usai seminar yang diselenggarakan di sekolahnya itu. Gadis itu menyampaikan keinginannya untuk memiliki usaha yang bisa ia jalankan sambil sekolah.
Hampir satu jam kami berbicara. Ia menceritakan banyak hal tentang kondisi keluarganya, sekolah dan keinginannya untuk memiliki penghasilan tambahan agar bisa membantu orangtuanya. Ia ingin melakukan usaha apa saja yang penting bisa dilakukan sambil sekolah. Ia juga menyatakan sangat tertarik dengan dunia tulis-menulis seperti yang saya singung dalam seminar tersebut. Gadis yang akhirnya saya ketahui bernama Ziah itu mengatakan kalau punya hobi membaca buku, meskipun tidak memiliki banyak buku.
Setelah berbicara cukup lama, akhirnya diskusi itu kami tutup dengan kesimpulan, ia akan memulai dengan sewa-menyewakan buku, atau semacam perpusatakkan keliling. Caranya, buku-buku itu akan dibawa ke sekolah dan ditawarkan ke teman-teman, guru dan orang lain yang mau meminjam. Setiap buku dikenakan uang sewa antar 500-2000 rupiah tergantung tebal-tipisnya buku. Modalnya dari mana? Uang tabungan yang Ziah miliki sebesar Rp.40.000,- itu akan digunakan untuk membeli beberapa buku novel remaja. Saat itu kebetulan ada pameran buku di kota kami.
Berikutnya uang tersebut bisa digunakan untuk membeli 4 buah buku. Setelah ditawarkan ke teman-temannya ternyata mereka sangat berminat. Seminggu kemudian ia bisa membeli sebuah buku lagi, dua meninggu selanjutnya ia beli 2 buku, minggu berikutnya ia beli 3 buku dan begitu seterusnya. Sampai bulan ke 4 ia sudah memiliki puluhan buku. Dia juga menerima sumbangan buku-buku dari simpatisan dan konsumen peminjam bukunya.
Ziah (kemudian menjalankan usahanya bersama sahabtnya Mila) bisa mengumpulkan uang sewa sampai Rp.60.000,- setiap bulannya. Selain untuk membeli buku lagi, sebagiannya ia gunakan untuk menambah uang saku atau memenuhi kebutuhan sekolahnya. Ia punya obsesi untuk mendirikan sebuah taman baca yang ia beri nama 'Taman Baca Cakrawala'.
Sebuah rumah tua di sudut kota sedang dipersiapkan untuk dijadikan taman bacaan tersebut. Menurutnya dalam 1-2 bulan ke depan sambil mencari-cari tambahan buku-buku ia akan me-launching taman baca tersebut. Sebuah usaha mulia yang patut kita dukung.
Membaca masih belum menjadi budaya bagi masyarakat kita. Realitas budaya baca di Indonesia yang masih kelabu ini, hendaknya menggugah dan memacu setiap lembaga pendidikan dan perpustakaan dengan segenap stake holder – termasuk media massa dan para pencinta bacaan – untuk secara sukarela berpartisipasi, bahkan proaktif memberikan sumbangsih mereka demi menumbuh kembangkan minat baca masyarakat.
Rendahnya minat baca masyarakat secara nasional disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari rendahnya produktivitas pengarang buku, minimnya penerbit yang mampu memproduksi buku-buku bermutu, kecilnya honorarium pengarang buku, sampai ke mahalnya harga buku.
Catatan dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyebutkan, selain masalah kualitas buku, dari segi produktivitas pengarang umum di luar buku pelajaran saja, sudah menurun drastis sejak 5 tahun terakhir. Tahun 1999, para pengarang kita mampu memproduksi 9.000 judul buku, kini cuma sekitar 6.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia (lebih 15.000 judul buku), Jepang (60.000 judul) dan Inggris (110.155 judul) setiap tahun.
Rendahnya minat baca di negara kita pada dasarnya lebih disebabkan faktor internal dibanding faktor eksternal dari tiap individu warga masyarakat. Faktor eksternal (harga buku, mutu buku, lingkungan keluarga, dan sebagainya) jelas berpengaruh, tetapi pengaruh faktor internal lebih dominan. Faktor internal tersebut ialah masih rendahnya motivasi bangsa ini dalam membaca.
Padahal selain merupakan sumber inspirasi, menambah wawasan, menjadi sarana belajar otodidak, membaca juga bagian dari ibadah. Bukankah Allah yang memerintahkan langsung kepada kita untuk gemar membaca? Sehingga ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah perinta membaca.
Para tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Hamka dan yang sekaliber dengan mereka lainnya, tak diragukan lagi komitmennya dalam mencintai dunia bacaan. Tak heran, dalam Bung Karno antusias berwasiat kepada generasi muda kita : “Pemuda harus membaca dan terus membaca. “Filosof Prancis, Ralp Waldo Emerson, dengan tegas menyatakan : Mereka yang banyak membaca adalah mereka yang menemukan sukses dan bahagia.”
Oleh karena itu marilah kita -terutama para orang tua- harus lebih dulu memiliki kegemaran membaca, agar ajakan yang luhur dan mulia ini bisa berpengaruh efektif terutama kepada anak-anak di rumah. Bukankah tak sedikit orang-orang yang sukses dan jadi orang besar berasal dari keluarga cinta baca? Setiap orang tua perlu mengapresiasi budaya baca dengan memberikan suri tauladan bagi keluarganya.
Sebuah langlah yang dimulai oleh Ziah dan teman-temannya, mungkin belum seberapa, namun kita berharap ini akan menjadi bola salju untuk menggairahkan minat baca. Bahkan Ziah memiliki banyak manfaat sekaligus, menumbuhkan minat baca, mendapatkan ilmu dari buku yang dibaca dan juga memiliki penghasilan tambahan. Mau mencoba?
Salam Persahabatan!
Follow saya @jumadisubur
Hampir satu jam kami berbicara. Ia menceritakan banyak hal tentang kondisi keluarganya, sekolah dan keinginannya untuk memiliki penghasilan tambahan agar bisa membantu orangtuanya. Ia ingin melakukan usaha apa saja yang penting bisa dilakukan sambil sekolah. Ia juga menyatakan sangat tertarik dengan dunia tulis-menulis seperti yang saya singung dalam seminar tersebut. Gadis yang akhirnya saya ketahui bernama Ziah itu mengatakan kalau punya hobi membaca buku, meskipun tidak memiliki banyak buku.
Setelah berbicara cukup lama, akhirnya diskusi itu kami tutup dengan kesimpulan, ia akan memulai dengan sewa-menyewakan buku, atau semacam perpusatakkan keliling. Caranya, buku-buku itu akan dibawa ke sekolah dan ditawarkan ke teman-teman, guru dan orang lain yang mau meminjam. Setiap buku dikenakan uang sewa antar 500-2000 rupiah tergantung tebal-tipisnya buku. Modalnya dari mana? Uang tabungan yang Ziah miliki sebesar Rp.40.000,- itu akan digunakan untuk membeli beberapa buku novel remaja. Saat itu kebetulan ada pameran buku di kota kami.
Berikutnya uang tersebut bisa digunakan untuk membeli 4 buah buku. Setelah ditawarkan ke teman-temannya ternyata mereka sangat berminat. Seminggu kemudian ia bisa membeli sebuah buku lagi, dua meninggu selanjutnya ia beli 2 buku, minggu berikutnya ia beli 3 buku dan begitu seterusnya. Sampai bulan ke 4 ia sudah memiliki puluhan buku. Dia juga menerima sumbangan buku-buku dari simpatisan dan konsumen peminjam bukunya.
Ziah (kemudian menjalankan usahanya bersama sahabtnya Mila) bisa mengumpulkan uang sewa sampai Rp.60.000,- setiap bulannya. Selain untuk membeli buku lagi, sebagiannya ia gunakan untuk menambah uang saku atau memenuhi kebutuhan sekolahnya. Ia punya obsesi untuk mendirikan sebuah taman baca yang ia beri nama 'Taman Baca Cakrawala'.
Sebuah rumah tua di sudut kota sedang dipersiapkan untuk dijadikan taman bacaan tersebut. Menurutnya dalam 1-2 bulan ke depan sambil mencari-cari tambahan buku-buku ia akan me-launching taman baca tersebut. Sebuah usaha mulia yang patut kita dukung.
Membaca masih belum menjadi budaya bagi masyarakat kita. Realitas budaya baca di Indonesia yang masih kelabu ini, hendaknya menggugah dan memacu setiap lembaga pendidikan dan perpustakaan dengan segenap stake holder – termasuk media massa dan para pencinta bacaan – untuk secara sukarela berpartisipasi, bahkan proaktif memberikan sumbangsih mereka demi menumbuh kembangkan minat baca masyarakat.
Rendahnya minat baca masyarakat secara nasional disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari rendahnya produktivitas pengarang buku, minimnya penerbit yang mampu memproduksi buku-buku bermutu, kecilnya honorarium pengarang buku, sampai ke mahalnya harga buku.
Catatan dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyebutkan, selain masalah kualitas buku, dari segi produktivitas pengarang umum di luar buku pelajaran saja, sudah menurun drastis sejak 5 tahun terakhir. Tahun 1999, para pengarang kita mampu memproduksi 9.000 judul buku, kini cuma sekitar 6.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia (lebih 15.000 judul buku), Jepang (60.000 judul) dan Inggris (110.155 judul) setiap tahun.
Rendahnya minat baca di negara kita pada dasarnya lebih disebabkan faktor internal dibanding faktor eksternal dari tiap individu warga masyarakat. Faktor eksternal (harga buku, mutu buku, lingkungan keluarga, dan sebagainya) jelas berpengaruh, tetapi pengaruh faktor internal lebih dominan. Faktor internal tersebut ialah masih rendahnya motivasi bangsa ini dalam membaca.
Padahal selain merupakan sumber inspirasi, menambah wawasan, menjadi sarana belajar otodidak, membaca juga bagian dari ibadah. Bukankah Allah yang memerintahkan langsung kepada kita untuk gemar membaca? Sehingga ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah perinta membaca.
Para tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Hamka dan yang sekaliber dengan mereka lainnya, tak diragukan lagi komitmennya dalam mencintai dunia bacaan. Tak heran, dalam Bung Karno antusias berwasiat kepada generasi muda kita : “Pemuda harus membaca dan terus membaca. “Filosof Prancis, Ralp Waldo Emerson, dengan tegas menyatakan : Mereka yang banyak membaca adalah mereka yang menemukan sukses dan bahagia.”
Oleh karena itu marilah kita -terutama para orang tua- harus lebih dulu memiliki kegemaran membaca, agar ajakan yang luhur dan mulia ini bisa berpengaruh efektif terutama kepada anak-anak di rumah. Bukankah tak sedikit orang-orang yang sukses dan jadi orang besar berasal dari keluarga cinta baca? Setiap orang tua perlu mengapresiasi budaya baca dengan memberikan suri tauladan bagi keluarganya.
Sebuah langlah yang dimulai oleh Ziah dan teman-temannya, mungkin belum seberapa, namun kita berharap ini akan menjadi bola salju untuk menggairahkan minat baca. Bahkan Ziah memiliki banyak manfaat sekaligus, menumbuhkan minat baca, mendapatkan ilmu dari buku yang dibaca dan juga memiliki penghasilan tambahan. Mau mencoba?
Salam Persahabatan!
Follow saya @jumadisubur