Dengan perkembangan ilmu, ketrampilan, dan berbagai peluang kini menjadi orang kaya itu seperti mudah. Setiap orang berpotensi menjadi kaya. Asal ada kegigihan, orang bisa berpeluang menjemput rezeki yang berlimpah dari Allah.
Akan tetapi, tujuan penting yang harus dicapai bukan hanya menjadi kaya, melainkan menjadi orang kaya yang saleh dengan mencontoh Rasulullah Saw dan para sahabat.
“Kekayaan bukanlah menjadi mudharat bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt” (HR. Ahmad).
Suatu ketika seseorang meminta Rasulullah saw mendoakannya agar menjadi orang kaya. Beberapa kali Rasulullah mendiamkannya, namun akhirnya ia mengabulkan permintaan orang tersebut. Orang itu pun menjadi kaya karena usaha ternaknya yang maju.
Awalnya ia menjadi lalai dalam menjalankan sholat fardhu berjamaah satu waktu. Kemudian berlanjut ke waktu yang lain, bahkan sampai ia pun meninggalkan sholat karena sibuk dengan kekayaannya. Akhirnya datang azab Allah yang menghancurkan kembali semua kekayaannya.Ia ternyata tak mampu menjadi saleh ketika diuji dengan kekayaan.
Nauudzubillah.
Karena itu ada hal yang perlu disiapkan ketika mencita-citakan untuk menjemput kekayaan. Hal penting ini adalah iman. Sinyal iman kita harus diperkuat di mana pun kita berada dan dalam kondisi apa pun. Kunci utamanya adalah muraqabatullah – merasa dekat dengan Allah.
Kekayaan adalah bagian dari ujian Allah, seperti halnya juga kemiskinan. Ada orang yang tidak siap kaya dan lebih banyak lagi yang tidak siap miskin. Orang yang tidak siap kaya berpotensi dihinggapi berbagai penyakit hati. Sebaliknya, orang miskin lebih susah untuk berpenyakit hati sehingga jikalau ada orang miskin yang berpenyakit hati, Allah lebih murka lagi. Bayangkan saja jika ada orang miskin yang sombong, orang miskin yang tidak menegakkan sholat dan tidak mau berdoa kepada Allah, serta orang miskin yang enggan menolong orang lain.
Kisah tadi bisa menjadi ibrah kita semua. Boleh jadi kita mengiba-iba kepada Allah memohon doa agar dikayakan. Namun, ketika kaya, kita justru lupa kepada Allah. Bahkan, yang lebih bahaya adalah orang yang menganggap bahwa kekayaan itu semata dari hasil jerih payahnya. Ia menafikan rezeki, kemudahan, dan pertolongan dari Allah. Tentu sifat-sifat seperti ini akan mengundang murka Allah.
“Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran [3]:27)
Kesalehan dan ketakwaan adalah salah satu daya pendorong untuk mempercepat jemputan rezeki. Rezeki kita kadarnya sudah ditentukan oleh Allah dan dituliskan dalam lauhil mahfuuzh (lembaran dalam kitab nyata milik Allah).
Jika kita mohonkan dan kita jemput dengan kesungguhan ikhtiar, Allah akan beri. Jika diiringi dengan kesalehan, Allah akan tambah hingga tanpa batas dan dari arah yang tidak kita sangka.
Satu hal yang harus diingat, bukan hanya kaya, tapi shalih. Meminjam istilah Guru Inspirasi Indonesia, Jamil Azzaini, bukan hanya sukses, namun harus juga mulia. Sukses-Mulia!
Salam persahabatan!
@jumadisubur
Career Coach.
Akan tetapi, tujuan penting yang harus dicapai bukan hanya menjadi kaya, melainkan menjadi orang kaya yang saleh dengan mencontoh Rasulullah Saw dan para sahabat.
“Kekayaan bukanlah menjadi mudharat bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt” (HR. Ahmad).
Suatu ketika seseorang meminta Rasulullah saw mendoakannya agar menjadi orang kaya. Beberapa kali Rasulullah mendiamkannya, namun akhirnya ia mengabulkan permintaan orang tersebut. Orang itu pun menjadi kaya karena usaha ternaknya yang maju.
Awalnya ia menjadi lalai dalam menjalankan sholat fardhu berjamaah satu waktu. Kemudian berlanjut ke waktu yang lain, bahkan sampai ia pun meninggalkan sholat karena sibuk dengan kekayaannya. Akhirnya datang azab Allah yang menghancurkan kembali semua kekayaannya.Ia ternyata tak mampu menjadi saleh ketika diuji dengan kekayaan.
Nauudzubillah.
Karena itu ada hal yang perlu disiapkan ketika mencita-citakan untuk menjemput kekayaan. Hal penting ini adalah iman. Sinyal iman kita harus diperkuat di mana pun kita berada dan dalam kondisi apa pun. Kunci utamanya adalah muraqabatullah – merasa dekat dengan Allah.
Kekayaan adalah bagian dari ujian Allah, seperti halnya juga kemiskinan. Ada orang yang tidak siap kaya dan lebih banyak lagi yang tidak siap miskin. Orang yang tidak siap kaya berpotensi dihinggapi berbagai penyakit hati. Sebaliknya, orang miskin lebih susah untuk berpenyakit hati sehingga jikalau ada orang miskin yang berpenyakit hati, Allah lebih murka lagi. Bayangkan saja jika ada orang miskin yang sombong, orang miskin yang tidak menegakkan sholat dan tidak mau berdoa kepada Allah, serta orang miskin yang enggan menolong orang lain.
Kisah tadi bisa menjadi ibrah kita semua. Boleh jadi kita mengiba-iba kepada Allah memohon doa agar dikayakan. Namun, ketika kaya, kita justru lupa kepada Allah. Bahkan, yang lebih bahaya adalah orang yang menganggap bahwa kekayaan itu semata dari hasil jerih payahnya. Ia menafikan rezeki, kemudahan, dan pertolongan dari Allah. Tentu sifat-sifat seperti ini akan mengundang murka Allah.
“Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran [3]:27)
Kesalehan dan ketakwaan adalah salah satu daya pendorong untuk mempercepat jemputan rezeki. Rezeki kita kadarnya sudah ditentukan oleh Allah dan dituliskan dalam lauhil mahfuuzh (lembaran dalam kitab nyata milik Allah).
Jika kita mohonkan dan kita jemput dengan kesungguhan ikhtiar, Allah akan beri. Jika diiringi dengan kesalehan, Allah akan tambah hingga tanpa batas dan dari arah yang tidak kita sangka.
Satu hal yang harus diingat, bukan hanya kaya, tapi shalih. Meminjam istilah Guru Inspirasi Indonesia, Jamil Azzaini, bukan hanya sukses, namun harus juga mulia. Sukses-Mulia!
Salam persahabatan!
@jumadisubur
Career Coach.