Tawa bisa menghasilkan tangis, mungkinkah?
Begitulah yang terjadi. Beberapa hari lalu saya dibuat tak sanggup menahan tetes air mata ketika mendengar tawa dari seberang telepon dalam audio conference yang saya ikuti. Saya tidak tahu apa yang sedang diketawakan, namun apapun itu membuat hati ini teriris. Saat yang sama ada sebagian orang, rekan kerja yang sedang menunggu keputusan penting dalam hidupnya: tetap bekerja atau diberhentikan, stay or exit!
Sebuah rapat, akan menyampaikan sebuah keputusan penting bagi masa depan banyak orang, dan orang-orang yang sedang galau dengan status mengambang, bagai pesakitan yang menunggu keputusan. Namun tiba-tiba satu dua orang mengungkapkan canda, dan sekelompok orang mengumbar tawa. Saat yang sama, sebagian diantara mereka menahan perihnya luka: mengapa aku yang menjadi 'korban'nya?
Dunia ini semakin kehilangan hati nurani. Jika zaman dulu, sebuah musibah di belahan dunia lain menjadi duka kita bersama, kini apakah rasa itu masih ada? Mungkin seperti kata Iwan Fals, kita bercerita tentang duka orang kelaparan sambil meninkmati lezatnya sajian di meja makan. Musibah dan bencana hanya jadi obrolan. Bantuan kita berikan hanya sekedar...
Norman Cousins pernah berujar, “Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup, yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.”
Hanya dengan empati kita bisa berarti,
karena dengan berempati, menunjukkan bahwa kita adalah
manusia yang masih hidup, manusia yang berperasaan, dan akhirnya
menuntun kita menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama. Adanya empati dalam diri terhadap
orang lain, berarti kita sudah berinvestasi amal buat diri sendiri.
Manusia tidak bisa hidup sendiri. Kita butuh banyak orang untuk
menjalani hidup. Sehebat dan sekaya apapun kita. Kesulitan dan masalah
orang lain bisa menjadi cermin agar kita bisa menata diri untuk lebih
baik.
Jika empati sudah tidak kita miliki, maka bersiaplah untuk menjadi mayat berdiri. Hidup layaknya zombi. Tidak berperasaan, tidak berperi. Atau yang lebih parah lagi, jika engkau menabur garam dalam luka hati teman. Alih-alih memberi empati, ketawamu bisa menghasilkan tangis, bahkan sakit yang semakin menjadi.
Mari introspeksi. Mari bekerja dengan cinta, agar tercipta harmoni.
Salam persahabatan!
Twitter saya @jumadisubur
Begitulah yang terjadi. Beberapa hari lalu saya dibuat tak sanggup menahan tetes air mata ketika mendengar tawa dari seberang telepon dalam audio conference yang saya ikuti. Saya tidak tahu apa yang sedang diketawakan, namun apapun itu membuat hati ini teriris. Saat yang sama ada sebagian orang, rekan kerja yang sedang menunggu keputusan penting dalam hidupnya: tetap bekerja atau diberhentikan, stay or exit!
Sebuah rapat, akan menyampaikan sebuah keputusan penting bagi masa depan banyak orang, dan orang-orang yang sedang galau dengan status mengambang, bagai pesakitan yang menunggu keputusan. Namun tiba-tiba satu dua orang mengungkapkan canda, dan sekelompok orang mengumbar tawa. Saat yang sama, sebagian diantara mereka menahan perihnya luka: mengapa aku yang menjadi 'korban'nya?
Dunia ini semakin kehilangan hati nurani. Jika zaman dulu, sebuah musibah di belahan dunia lain menjadi duka kita bersama, kini apakah rasa itu masih ada? Mungkin seperti kata Iwan Fals, kita bercerita tentang duka orang kelaparan sambil meninkmati lezatnya sajian di meja makan. Musibah dan bencana hanya jadi obrolan. Bantuan kita berikan hanya sekedar...
Norman Cousins pernah berujar, “Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup, yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.”
Benarkah sudah hilang hati nurani kita? Jika demikian saya seharusnya ikut berduka. Karena tidak adalagi yang bisa menghidupkan 'tubuh' kita jika kehilangan nurani. Kehilangan empati.
Jika ada teman yang menghadapi masalah
atau kesulitan, saat itulah harusnya kita berperan. Dan peran terkecil yang bisa kita berikan adalah empati. Yakni tumbuhnya resonansi dari perasaan. Rasa ikut bergetar hati karena persamaan frekuensi. Dengan empati, seseorang akan membuat
frekuensi perasaan dalam dirinya sama dengan frekuensi perasaaan yang
dirasakan orang lain. Sehingga ia turut bergetar, turut memahami,
sekaligus merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Jika empati sudah tidak kita miliki, maka bersiaplah untuk menjadi mayat berdiri. Hidup layaknya zombi. Tidak berperasaan, tidak berperi. Atau yang lebih parah lagi, jika engkau menabur garam dalam luka hati teman. Alih-alih memberi empati, ketawamu bisa menghasilkan tangis, bahkan sakit yang semakin menjadi.
Mari introspeksi. Mari bekerja dengan cinta, agar tercipta harmoni.
Salam persahabatan!
Twitter saya @jumadisubur