Di dorong oleh keinginan dan keluguan bahkan ketulusan, kita biasanya menilai para pemimpin, orang-orang hebat di sekitar kita, atau orang-orang yang kita sanjungi dengan cara yang berlebihan. Ini memang godaan berat bagi para pahlawan dan para bintang. Juga godaan berat bagi para pemimpin, atau orang-orang yang diidolakan, dimana mereka sering merasa memiliki 'hak prerogratif' untuk menikmati semua kemurahan orang untuk dirinya. Seorang yang merasa 'memiliki' biasanya cenderung terhinggap penyakit ini.
Godaan itu yang sering menjerumuskan para hero ke dalam lumpur kenistaan, dimana mereka melakukan tindakan tidak terhormat, merendahan martabat sendiri, bahkan seperti nila, ia merusak semua telaga kebaikan yang sudah ia ciptakan sendiri.
Para hero ini, bisa jadi para pemimpin di perusahaan, manager, tokoh publik, atau siapapun yang melakukan tindakan tercela di tengah-tengah kondisi masyarakat kita yang cenderung paternalistik. Disini orang-orang mendewakan para pahlawan. Seorang pemimpin diidentifikasikan seperti seorang dewa. Tidak boleh ada cela dan tidak pernah boleh salah.
Masyarakat paternalistik cenderung tidak memiliki kaidah yang jelas untuk mendewakan seseorang, atau demikian juga sebaliknya, tidak memiliki kaidah yang jelas untuk menistakan seseorang. Demikian pula yang terjadi pada seorang yang jatuh cinta lalu putus. Di awal ia mendewakan dan segera dengan cepat bisa menistakan. Semua tindakan menjadi ekstrim. Cepat tumbuh dan cepat mematikan.
Begitulah yang terjadi pada tokoh-tokoh pemimpin kita. Dulu Soekarno begitu dipuja. Dengan segala karisma yang ia miliki, negeri ini bisa diatur dalam genggamannya. Lalu ketika masanya sudah habis, mereka mencampakkan dalam pojok sejarah.
Demikian juga yang terjadi dengan Soeharto. Dan ada banyak tokoh-tokoh sejarah yang setetes nila merusak sebelanga susu yang pernah ia berikan.
Seorang company hero harus mengambil pelajaran dari pengalaman ini. Bahwa seorang dengan kecemerlangan di awal atau di tengah perjalanan tidak selalu berakhir dengan kecemerlangan yang sama. Terkadang dengan berbagai sebab, para pahlawan mengotori sendiri karya-karya cemerlangnya. Kadang seorang yang baik mengotori sendiri kebaikan-kebaikannya. Demikian juga kadang seorang karyawan bintang, mengotori sendiri kebintangannya. Bahkan mungkin hanya dengan setetes nila.
Itulah sebabnya, kita harus menanamkan keikhlasan dan pertanggungjawaban kepada Yang Mahakuasa atas semua karya dan kerja-kerja kita, namun juga selalu menanamkan sikap kritis dan rasional dalam semua tindakan kita, untuk pertanggungjawaban kepada stakeholder pekerjaan kita.
Hati-hati dengan setitik nila, sebab bisa jadi rusak susu sebelanga karenanya.
[]
Godaan itu yang sering menjerumuskan para hero ke dalam lumpur kenistaan, dimana mereka melakukan tindakan tidak terhormat, merendahan martabat sendiri, bahkan seperti nila, ia merusak semua telaga kebaikan yang sudah ia ciptakan sendiri.
Para hero ini, bisa jadi para pemimpin di perusahaan, manager, tokoh publik, atau siapapun yang melakukan tindakan tercela di tengah-tengah kondisi masyarakat kita yang cenderung paternalistik. Disini orang-orang mendewakan para pahlawan. Seorang pemimpin diidentifikasikan seperti seorang dewa. Tidak boleh ada cela dan tidak pernah boleh salah.
Masyarakat paternalistik cenderung tidak memiliki kaidah yang jelas untuk mendewakan seseorang, atau demikian juga sebaliknya, tidak memiliki kaidah yang jelas untuk menistakan seseorang. Demikian pula yang terjadi pada seorang yang jatuh cinta lalu putus. Di awal ia mendewakan dan segera dengan cepat bisa menistakan. Semua tindakan menjadi ekstrim. Cepat tumbuh dan cepat mematikan.
Begitulah yang terjadi pada tokoh-tokoh pemimpin kita. Dulu Soekarno begitu dipuja. Dengan segala karisma yang ia miliki, negeri ini bisa diatur dalam genggamannya. Lalu ketika masanya sudah habis, mereka mencampakkan dalam pojok sejarah.
Demikian juga yang terjadi dengan Soeharto. Dan ada banyak tokoh-tokoh sejarah yang setetes nila merusak sebelanga susu yang pernah ia berikan.
Seorang company hero harus mengambil pelajaran dari pengalaman ini. Bahwa seorang dengan kecemerlangan di awal atau di tengah perjalanan tidak selalu berakhir dengan kecemerlangan yang sama. Terkadang dengan berbagai sebab, para pahlawan mengotori sendiri karya-karya cemerlangnya. Kadang seorang yang baik mengotori sendiri kebaikan-kebaikannya. Demikian juga kadang seorang karyawan bintang, mengotori sendiri kebintangannya. Bahkan mungkin hanya dengan setetes nila.
Itulah sebabnya, kita harus menanamkan keikhlasan dan pertanggungjawaban kepada Yang Mahakuasa atas semua karya dan kerja-kerja kita, namun juga selalu menanamkan sikap kritis dan rasional dalam semua tindakan kita, untuk pertanggungjawaban kepada stakeholder pekerjaan kita.
Hati-hati dengan setitik nila, sebab bisa jadi rusak susu sebelanga karenanya.
[]